Babak Baru Dalam Merindu
Joy Agustian
October 6th 2018
Ide untuk bertemu dengannya sebenarnya sudah terbentuk sejak lama. Bahkan sebelum kami sempat bertatap muka satu sama lain. Dengan naif, saya susun sejumlah agenda sedemikian rupa. Menulis daftar tempat yang akan kami kunjungi, menata aneka kegiatan yang bisa kami lakukan bersama. Lalu, saya simpan baik-baik kesemua itu di dalam binder , dengan harapan kami memiliki waktu yang cukup untuk mewujudkannya. Dan entah bagaimana, setelah pertemuan di bandara itu, saya tak pernah lelah mencari peluang agar — setidaknya — jarak di antara kami dapat berakhir.
Sebagaimana yang dikatakan Eka Kurniawan; seperti dendam, rindu pun harus dibayar tuntas.
Maka, pada pertengahan Agustus lalu, saya memutuskan untuk mengambil kesempatan itu. Saya tak ingin menyia-nyiakannya lagi. Karena, saya tak tahu sampai kapan saya harus tersiksa jika saya tak bersedia mengerahkan sedikit usaha.
Berminggu-minggu saya merahasiakan keputusan itu dari dirinya, berusaha menjaga komunikasi kami agar berjalan tanpa perdebatan, meskipun pada akhirnya saya gagal mempertahankan itu semua. Hari demi hari selalu terlewati dengan pertikaian. Dan tak jarang saya melewati malam seorang diri sambil mencemaskan apa yang akan terjadi pada kami selanjutnya.
Namun, kau tak akan pernah tahu betapa kata maaf dapat menyembuhkan luka dan memadam benci.
Itulah yang saya utarakan ketika kami duduk berhadapan di KFC Setiabudi pada Senin malam yang dingin itu. Secangkir float miliknya telah tandas. Sosok pria dalam balutan hoodie Adidas hitam ini tak banyak bicara. Dia terus memandang saya lekat-lekat, seakan memaksa saya tenggelam di sepasang danau gelap itu. Dan saya, dengan segala kerapuhan yang saya miliki, hanya sanggup mengabaikan tatapan milikinya.
Lama, barulah saya memiliki keberanian untuk mereguk surga yang dia tawarkan.
Saya rindu menyaksikan dia tergelak malu dengan wajah tertunduk. Dan saya sama sekali tak keberatan ketika dia terpaksa menarik telinga saya seusai menyaksikan foto usangnya yang tersimpan di laptop saya.
“Itu fotonya nemu dari mana coba?” protesnya.
“I know every single thing like no one has to tell me,” jawab saya.
“Dari Facebook deh pasti!”
Saya hanya mengedikkan bahu, kembali sibuk dengan helai demi helai kertas nota dan membentuknya menjadi perahu kertas mungil. Tak butuh waktu lama, dia bergabung dengan saya di atas ranjang, dan turut melipat-lipat kertas sedemikian rupa.
“Kamu tahu, kertas sekecil ini bisa dibikin macam-macam selain perahu-perahuan.”
“Origami?” Saya meliriknya sejenak, lalu menceletuk, “That’s so obvious.”
“Jangan salah. Nih, kamu perhatikan, ya.”
Sekejap saja, di antara jari-jari kurus miliknya, perahu kertas sederhana milik saya merupa sesuatu yang baru. Ujung perahu itu tak lagi runcing. Kini bentuknya lebih menyerupai sekoci alih-alih perahu layar.
Kemudian, dia meraih selembar struk belanja dari Supermarket Borma. Saya memperhatikan jemari itu kembali bergerak dalam manuver yang lebih rumit dari sebelumnya.
Dalam keheningan, dia bersuara, “Dulu, waktu masih SMA, anak-anak di kelas suka bikin beginian pas jam pelajaran kosong. Tahu nggak fungsinya buat apa?” Saya menggeleng.
“Buat nampung kulit kuaci,” tukasnya, sembari memamerkan sebuah kotak berukuran mini lengkap dengan penutupnya. “Jadi, sampahnya nggak bakal berserakan di lantai dan buang ke tempat sampah juga lebih gampang.”
Imajinasi saya terlempar ke sebuah potret di mana lelaki ini mengenakan seragam sekolah yang rapi, jauh dari kesan dungu dan musuh guru-guru, sebab saya tahu dia selalu menjaga reputasi dirinya di lingkungan sekolah. Betapa menyenangkan masa SMA-mu, Kiddo.
“Aku boleh foto ini?” tanya saya. “Anggap aja oleh-oleh dari kamu.”
Dia mengangguk setuju dengan seulas senyum. Mata sendunya mengirimkan kehangatan. Usai kegiatan lipat-melipat itu, kami kembali bersandar di kepala ranjang. Ponsel saya menyenandungkan daftar putar yang berisi sederet lagu instrumen piano, yang setidaknya terdengar jauh lebih menyenangkan ketimbang detik jarum jam di dinding kamar.
Di tangannya, terdapat sebuah buku bersampul merah muda. Itu adalah buku ketiga yang saya tulis. Pembicaraan kami kembali bergulir pada proses penulisan buku itu, tentang siapa saja yang menginspirasi saya, lagu-lagu yang saya putar, dan seperti apa saya mempromosikan buku itu pada suatu acara yang digelar di LBH Cikini pada Mei dua tahun silam.
Kisah demi kisah meluncur bagai cucuran air dari langit. Kami bertukar tawa yang melebur dalam kata. Dan untuk pertama kalinya, saya memberanikan kontak fisik itu berlangsung dengan intim. Telapak tangan saya menyentuh dadanya yang masih terbungkus kaus biru gelap. STAY EVIL. Begitu yang tertulis di sana. Jantung saya berdegup hebat. Sementara dia tak menunjukkan tanda-tanda penolakan. Sepasang danau gelap itu menenggelamkan saya.
Yang saya tahu, pada saat itu segalanya terjadi begitu saja. Ia mengurung saya dalam dekapannya, mengisi setiap sela jemari saya dengan jemarinya yang ramping. Napasnya memburu, tetapi sesekali terdengar teratur. Kecupan itu jatuh di bibir saya tanpa rencana. Saya menerimanya seperti kemarau yang merindukan hujan. Begitu lembut, begitu sempurna, sehingga rasanya menyatu sampai ke tulang belulang.
Matahari luruh perlahan. Malam pun merambat naik. Di luar sana langit mulai gulita. Namun, kami masih jauh dari kata selesai. Berkali-kali kami bertukar ciuman di sana dan di sini tanpa henti. Perjalanan masih panjang, ucap saya dalam hati. Saya tak ingin menghentikannya lekas-lekas. Sebab, separuh nyawa saya telanjur menghilang entah ke mana.
Saya telah ditarik ke permukaan. Layaknya seekor ikan yang megap-megap dan merindukan lautan, saya terus berusaha menerima perlakuannya dengan sekuat tenaga. Sampai tak terasa gelap semakin pekat.
***
Izinkan saya sependapat dengan peribahasa ‘malu bertanya sesat di jalan’. Sebab, pada umumnya bertanya sama sekali tak dikenakan biaya. Ahwal bertanya dan menjawab ini merupakan hal yang lumrah dalam percakapan sehari-hari. Terlebih jika suatu pertanyaan menerima respons yang layak. Namun, sebagian orang cenderung takut bertanya lantaran tak sanggup dengan jawaban yang akan mereka dapatkan.
“Mungkin cara ini bisa membantu kamu,” saya mengangsurkan pulpen dan sehelai tisu yang saya lipat membentuk persegi panjang tak beraturan. Di sana tertulis enam buah pilihan yang tertulis dengan tinta biru.
Dia menyambutnya dengan bibir terkunci. Saya dengan sabar menanti saat tangan kanan yang menggenggam pulpen itu mengguratkan sesuatu pada kertas tisu tersebut. Sesekali dia membuang muka, menatap langit-langit kamar seakan ada jawaban di atas sana. Tak lama, dia menyerahkan kembali tisu itu kepada saya.
“Feeling?” alis saya terangkat. Suara saya lirih, takada penghakiman di sana. “Ayo kita bahas bareng-bareng.”
Bantahnya, “Jangan, nggak usah. Anggap aja aku nggak nanya apa-apa.”
“Kamu bercanda? Mana mungkin aku bisa melupakan ini gitu aja? Coba, apa yang pengin kamu ungkapkan dari sesuatu yang udah kamu tulis di sini?”
Bibirnya senantiasa bungkam. Di tatapannya saya temukan kegelisahan, sesuatu yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Namun entah mengapa, orang ini — lelaki ini — enggan mengutarakan keganjalan itu dengan saya. Padahal, saya teramat bersedia membantunya memikul sebagian beban itu. Tanpa pamrih sekalipun.
Sebab, terkadang bahumu tak cukup kuat mengampu pelbagai masalah yang ada di dunia. Kau harus membaginya dengan orang lain, agar letihmu ikut berkurang.
Takada tanggapan. Tak peduli seberapa dalam permohonan saya, tak peduli seberapa tulus air mata saya, tetap saja dia bertahan dengan kemandiriannya. Dan saya nyaris meninggalkannya pada malam itu. Nyaris membiarkan diri saya luntang-lantung di suatu tempat agar masalah ini kepalang kacau, kepalang tak terselesaikan— jika memang demikian yang ia mau. Tetapi, saya takingin menyerah begitu saja. Saya ingin mempertahankannya tak peduli seberapa sering saya mencoba.
Setidaknya begitulah yang mereka katakan tentang suatu hubungan.
Bukan jarimu yang harus kaupotong, melainkan kukumu. Bukan hubungan yang harus kauakhiri, tapi egomu yang harus kaurendahkan.
Dan seketika, saya teringat dengan perbincangan pada malam di KFC itu, pada aneka kekacauan yang terjadi beberapa waktu sebelumnya. Betapa banyak masalah yang kami lalui, dan semua itu pada akhirnya terselesaikan dengan satu kata yang tulus. Betapa dahsyatnya kata maaf, yang sanggup menyembuhkan luka dan memadam benci.
Sisa-sisa malam itu, kami lewati dalam keheningan. Mencoba saling mengerti, mencoba saling memperbaiki karena masing-masing di antara kami tak sempurna.
***
Itu adalah Jumat yang teduh di kota Bandung. Sehari sebelumnya langit memang tampak redup dan sendu. Mungkin ia mengetahui ada seseorang yang harus pergi sebentar lagi. Empat hari bersama dirinya merupakan momen yang paling menyenangkan dalam hidup saya. Satuan waktu terlewati begitu cepat, dan akan terasa lama ketika jarak kembali berkuasa.
Dan saya akan selalu mengingat setiap peristiwa tanpa melewati satu detail sedikit pun. Obat penurun panas dan sepuluh tusuk sate di malam itu, potongan-potongan pizza yang tak termakan, segelas madu hangat di pagi hari, aneka kekonyolan dan lelucon milik saya yang berhasil membuatnya tertawa — tawa yang membuat sepasang danau gelap itu menjelma garis. Satu di antara sekian banyak hal pada dirinya yang ingin selalu saya rengkuh.
Dari bawah Gedung Fakultas Ilmu Pendidikan, saya melihatnya berdiri menekuni ponsel di genggamannya. Kemeja abu-abu lengan pendek, pandangannya menyapu ke sana kemari. Sementara saya menatap dirinya dari kejauhan dengan penuh rasa kagum. Sosoknya begitu cemerlang, begitu membanggakan, begitu dicinta. Saya terus memandanginya diam-diam, mengabadikannya lewat kamera ponsel — dalam hati berharap suatu saat dirinya dapat saya miliki.
Lalu, di antara hiruk-pikuk mahasiswa yang berkeliaran di sana, dia menyadari kehadiran saya. Melambaikan tangan seolah-olah taksabar bertemu kawan lama.
Saya selalu di sini, Kiddo.
Saya tak akan lari.
Senyumnya terkembang ketika mendapati saya berdiri di halaman itu. Kumis-kumis tipis di atas bibirnya, yang tak pernah ingin dia cukur. Dan lengkung senyum itu masih tampak sama sewaktu dia berhasil menangkap foto saya diam-diam lewat ponselnya. Dia tertawa, memamerkan ekspresi saya yang jauh dari kata sempurna.
Tak apa. Setidaknya kamu masih memiliki foto itu jika suatu hari saya telah tiada.
Detik-detik menuju perpisahan itu terasa begitu cepat. Saya tergerak menjenguk kembali tempat-tempat yang pernah saya lewati bersama dirinya; gang sempit di mana sejumlah rumah kos saling berdempetan, tangga menuju kamarnya di lantai atas, pintu kamar dengan angka 11, botol-botol air lemon yang tersusun rapi di ventilasi udara, kamar mandi, warung nasi tempat kami membunuh lapar, bahkan buah dagangan milik bapak kos. Kesemua itu akan saya jaga dengan rapi setibanya saya di rumah nanti.
“Kalau aku udah pulang nanti, kamu harus bisa jaga diri, ya…” ucap saya dengan suara bergetar. “Sebab, nggak akan ada lagi yang bikin kamu air madu setiap pagi, yang ajak kamu makan tepat waktu. Jangan nakal juga di sini.”
Mata saya memanas sewaktu mengucapkan nasihat itu. Hanya masalah waktu saja sampai bendungan di mata saya runtuh seketika. Namun, sebisa mungkin saya menahannya. Bersembunyi di balik senyum palsu yang saya buat.
“Aku juga mau menjanjikan satu hal untuk kamu,” balasnya.
“Apa itu?”
“Beri aku waktu satu bulan, ya. Beri aku waktu supaya aku bisa menuntaskan semuanya, sampai aku siap memberi jawaban buat kamu.”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, saya langsung mendekap tubuhnya erat-erat. Membiarkan kepala itu hinggap di dada saya sehingga dia tak perlu melihat bahwa air mata saya telah merembes. Biar keheningan, biar langit-langit kamar dan tembok berwarna hijau itu yang mengetahui segalanya.
“Aku bakal menunggu,” jawab saya lirih.
Di perjalanan menuju bandara, kami masih sempat bercanda dan sekadar berbagi tawa demi mengenyahkan rasa sedih. Sebab, bagi siapa pun perpisahan itu akan selalu sama. Akan ada seseorang yang harus ditinggal, akan ada pula hati yang kesepian. Maka, kami memutuskan untuk berpura-pura bahagia. Mungkin dengan begitu kami bisa terhindar dari luka.
Saya bertanya, “Menurut kamu, apakah nanti kita bisa mengulangi kebersamaan seperti ini lagi?”
Dengung pengumuman terdengar berulang-ulang di pengeras suara. Dia memberi saya tatapan itu, sepasang danau gelap yang bersembunyi di balik kacamatanya.
Dalam suara rendahnya, dia berkata, “Bisa. Pasti bisa. Selama kita mau mencoba.”
Betapa saya ingin sepenuhnya memercayai kalimatmu, Kiddo. Betapa saya berharap Semesta dapat mengaminkannya untuk kita berdua. Namun, bukankah kita semua tahu bahwa Semesta selalu memiliki cara kerjanya sendiri? Ia sanggup membuyarkan rencana yang telah kita susun hanya dalam satu kedipan mata saja.
Setidaknya itulah yang terjadi beberapa menit kemudian, saat saya terseok-seok menyeret koper dan bergabung ke dalam antrean. Di belakang saya terdapat sepasang suami-istri yang rusuh. Dan saya memutuskan untuk melihatnya kembali.
Dia masih berdiri di sana. Tersenyum, melambaikan tangan, seperti yang pernah dia lakukan pada Senin malam yang dingin itu.
Terbungkus hoodie Adidas hitam, memantau saya dari luar gardu Grand Setiabudi hanya untuk memastikan saya baik-baik saja. Sesekali saya menoleh ke belakang, mendapati dirinya selalu berdiri di tempat yang sama. Melambaikan tangan sampai saya menyadari jarak kami telah terlalu jauh. Sosoknya pun telah menghilang.
Jaga diri, ya.
Begitu yang ditulisnya tepat setelah saya menaruh koper di atas conveyor belt dan melewati petugas keamanan bandara. Bedanya, kali ini dia masih senantiasa menunggu, lama — sampai saya benar-benar memasuki ruang tunggu.
Kenyataan itu membuat saya tertampar bahwa setelah ini kami harus memasrahkan diri kembali pada jarak dan waktu. Seandainya saya sadar, seandainya saya membuka mata sejak awal, bahwa mencintai seseorang memang demikian. Amy Winehouse bahkan pernah berkata, love is a losing game. It is either you lose it, or you win it. And the truth is, falling in love is always tragic and awful.
Namun untuknya, saya bersedia memperjuangkan segalanya.
- Recent Entries -