Bagaimana Bila Pertemuan dan Perpisahan Datang Bersamaan?
Joy Agustian
July 24th 2018
Itu adalah Senin pagi yang sama seperti pada umumnya. Halte bus yang penuh, para pejalan kaki dengan tas di bahu sementara ponsel di tangan masing-masing, serta kerumunan sopir ojek daring yang berkumpul di beberapa sudut — seakan tengah menanti calon penumpang yang akan mereka bawa menembus kemacetan ibu kota.
Di sanalah saya berdiri, beberapa meter di depan gardu Kalibata City bersama seonggok koper di sebelah kiri. Sesekali saya memeriksa ponsel, sekadar mencari tahu keberadaan taksi yang saya pesan beberapa menit lalu. Taksi ini pula yang pada akhirnya akan mengantar saya bergabung dengan hiruk-pikuk kota Jakarta di pagi hari.
Pukul setengah tujuh lebih sedikit. Masih terlalu dini untuk memelototi media sosial atau membalas setiap obrolan yang tak sempat terjawab tadi malam. Namun, setiap kali pesan darinya muncul di papan notifikasi, saya tak bisa menahan diri untuk mengabaikannya. Tak sanggup menolak ajakannya untuk berbincang-bincang meski hanya semenit.
Sebab, saya terbiasa melakukan itu dengan dirinya.
Entah berapa banyak topik yang terurai dalam diskusi kami sehari-hari. Tak jarang, setiap percakapan kami akan menjelma satu perdebatan yang berujung penyesalan. Seperti yang terjadi pada Sabtu malam itu. Malam ketika dia menyampaikan berita kepulangannya yang serbadadakan. Dan semua itu membuat saya meradang, tak mampu mengendalikan emosi sehingga saya pun turut menyalahkan keadaan.
Betapa amarah dapat membuat seseorang kehilangan akal sehat dan keseimbangan.
Namun, dia selalu berada di sana. Membuka pintu maaf terhadap setiap kesalahan yang saya perbuat, terutama pada lusinan kata yang mungkin saja tak berkenan di hatinya. Dia selalu demikian. Dengan kelapangan hati dan disertai suaranya yang rendah, mendekap ketidaksempurnaan saya tanpa kalimat menghakimi. Saling menyadari kesalahan masing-masing karena itulah yang dapat menjadikan seseorang lebih bijaksana di masa yang akan datang.
Setidaknya seperti itulah yang sering dia sampaikan kepada saya.
Layar ponsel saya masih menyala. Jendela percakapan WhatsApp dengan kursor yang berkedip-kedip, seakan menanti saya untuk segera mengirim balasan. Dia mungkin saja menginginkan kabar terbaru dari saya. Akan tetapi, saya baru mau mengetik sesuatu ketika mobil yang hendak saya tumpangi telah tiba di lokasi. Inilah saatnya, desis saya dalam hati.
Sampai ketemu di sana.
Tak lama, saya pun melompat ke dalam Avanza putih ber-plat B itu. Bersiap melebur dalam lalu lintas kota Jakarta pada Senin pagi.
***
Barangkali, selama ini kita telah dibodohi oleh hal-hal yang bersifat kebetulan. Sebab, segala sesuatu di dunia ini terlalu acak untuk dikaitkan dengan suatu ketidaksengajaan. Tuhan tidak bermain dengan dadu. Einsten yang bilang begitu. Lagi pula, ada beberapa faktor seperti determinisme dan freedom yang mengakibatkan terjadinya suatu peristiwa.
Jauh sebelum hari ini, saya selalu menerapkan prinsip agar senantiasa menjaga jarak dengan orang yang belum saya kenal dengan baik. Tak ada kesempatan untuk menyelinap ke dalam kehidupan saya lantaran tindakan tersebut dapat menjadi awal sebuah bencana. Namun, perkenalan dengannya serta-merta melumpuhkan segala pertahanan yang telah saya bangun selama ini.
Saya terseret ke dalam dimensi di mana saya tak lagi mengindahkan setiap jenis aturan. Di hadapannya, saya seperti menelanjangi diri sendiri. Tentang kenyataan bahwa dirinya pernah menghabiskan separuh masa kecil di lingkungan tempat tinggal yang sama dengan saya. Kami juga tak sungkan membagi kisah tentang kebiasaan aneh yang kami lakukan semasa sekolah, tentang beberapa mantan guru, tentang jajanan favorit yang legendaris, termasuk rahasia terkelam saya sekalipun.
Dia tahu bahwa saya sering mengalami depresi. Dia juga tahu bahwa saya merupakan korban bully sejak duduk di sekolah dasar. Dan entah bagaimana, orang asing ini — orang yang sebelumnya tak pernah saya ketahui wujud rupanya ini — bisa menerima ketidaksempurnaan tersebut seakan-akan keanehan tersebut tak membuatnya risi sedikit pun.
Bagaimana mungkin orang asing dapat membuat kita merasa nyaman berada dalam kulit kita sendiri?
Kendati demikian, tak semua rahasia yang saya bagi dapat dia tampung begitu saja. Pernah satu kali dia berpesan agar tak terlalu mudah menaruh kepercayaan terhadap siapa pun.
"Kamu nggak akan pernah tahu kapan orang tersebut akan berbalik dan menyia-nyiakan kebaikan kamu. But that doesn't mean you can't put your trust on me."
Tak perlu bantahan ini-itu untuk memungkiri ucapannya. Sebab, pengkhianatan merupakan hal yang biasa. Dan saya memahami bahwa dia sedang memperingati saya agar terhindar dari kecewa. Seandainya semua orang sebijaksana dirinya.
Seiring berjalannya waktu, saya semakin tak percaya dengan apa yang mereka sebut sebagai 'kebetulan'. Apabila perkenalan kami pada waktu itu hanya berawal dari ketidaksengajaan, lantas mengapa rasa nyaman terhadap dirinya terus tumbuh dan begitu dalam? Apa yang membuat chemistry itu bisa begitu kuat sementara kedua belah pihak tak pernah mengenal atau bahkan bertatap muka sebelumnya?
Lama, barulah saya percaya bahwa faktor kebetulan bukanlah penyebab esensi terbentuknya suatu tujuan. Manusialah yang mewujudkannya, melalui suatu proses eksklusif yang melibatkan aksi dan reaksi dari kedua belah pihak. Hingga pada suatu fase, faktor determinisme atau yang lebih dikenal dengan tangan Tuhan yang membuat segalanya tak terelakkan.
Barangkali, ketiga faktor inilah yang membuat semesta pada akhirnya mengizinkan satu temu untuk kami berdua.
***
Untuk satu alasan yang kuat, saya memilih singgah di Saphire Lounge lantaran hanya itu yang terlintas di kepala saya. Bandara ini bisa dibilang cukup luas, tetapi juga terlalu sempit untuk mencari tempat yang tepat agar terhindar dari beragam distraksi.
Duduk di atas sofa abu-abu, saya ditemani secangkir teh manis hangat yang mana asapnya meliuk-liuk di udara. Cangkir porselen itu berwarna putih, senada dengan meja persegi di sebelah saya. Sesekali saya mengintip layar ponsel, berharap ada balasan dari pesan saya yang terakhir. Namun, tak ada apa-apa di sana.
Satu sesapan teh yang pertama, sosok itu belum juga muncul. Sesekali saya menoleh ke sana kemari untuk menemukan keberadaannya. Tepat setelah saya meletakkan cangkir itu di atas meja, dan hendak memeriksa ponsel kembali, pandangan kami bertumbukan secara tak sengaja.
Waktu yang seketika berhenti. Kehadirannya menjelma sebagai pusat gravitasi bumi, di mana saya sempat tercenung menatap wujudnya yang kali ini tampak nyata. Dia teramat tenang, melangkah ke arah saya dalam balutan jaket hitam dan celana chino berwarna khaki. Sepasang mata teduh itu bersembunyi di balik kacamatanya. Entah bagaimana hal itu membuat dirinya tampak begitu cerdas sekaligus bijaksana.
Satu tali tas ransel tersampir di bahu kanan, sementara tangan kirinya menggenggam sebuah buku bersampul putih. Buku yang selanjutnya saya ketahui berjudul 'Student Entrepreneur'.
Ketika sosok itu mendekat, tanpa keraguan saya tersenyum. Beranjak dari duduk dan berkata 'hai' meski saya tak yakin untuk apa gunanya. Dan untuk pertama kalinya, saya merengkuh telapak tangan itu. Jemarinya yang kurus dan ramping, berbanding terbalik dengan jemari saya yang kecil dan cenderung bundar.
"Udah lama nunggu?" dia bertanya setelah menanggalkan ransel dari bahunya. Tak lama, dia menduduki kursi sofa di hadapan saya.
"Nggak terlalu lama," saya menjawab, masih dengan sensasi aneh yang tiba-tiba menggelitik perut saya. "Tadinya aku pikir kamu udah di ruang tunggu."
"Baru aja selesai check-in."
Kemudian, mengalirlah sebuah kronologi tentang siapa yang mengantarnya ke bandara, pukul berapa dia tiba di sini, apakah jadwal penerbangannya mengalami keterlambatan atau tepat waktu, dan beragam detail atas seluruh pertanyaan yang saya ajukan terhadap dirinya.
Satu hal yang tak luput dari ingatan saya, dia seringkali tertawa lirih sambil menundukkan wajahnya. Lekas memandang ke lain arah saat saya memergokinya sedang melirik saya diam-diam. Kasus ini seringkali dialami oleh orang-orang introvert pada pertemuan pertama mereka.
Dia kembali bersuara, "Coba ceritakan, bagaimana kamu bisa sampai kabur ke sana tanpa kasih kabar sama sekali?"
Sebelumnya, pertanyaan ini sudah sempat saya jawab pada Sabtu malam sebelum pertikaian itu dimulai. Saya meluapkan segalanya di sana, tentang stres yang saya alami beberapa waktu belakangan, tentang saya yang butuh hiburan, tentang perilaku impulsif saya yang terkadang bikin orang-orang resah dan khawatir.
Hanya saja, kali ini penjelasan saya lebih terstruktur dan tidak meledak-ledak seperti pada malam itu. Saya menyampaikannya lewat bahasa yang baik, kalimat yang lebih sopan. Dan saya tak bisa menyangkal sepasang mata teduh itu berhasil melumpuhkan kinerja otak saya selama beberapa detik.
"Aku nggak nyangka kamu bisa senekat itu. Bukannya orang Virgo selalu terstruktur, ya?"
Pada kasus tertentu, pendapatnya mungkin sangat akurat. Akan tetapi berperilaku impulsif bisa terasa sangat menyenangkan, occasionally. Terlepas dari ketergesa-gesaan yang cenderung memacu adrenalin, sesuatu yang impulsif biasanya selalu berjalan sempurna meski tanpa persiapan.
"Kamu nggak perlu khawatir," ujar saya, "lain kali aku nggak akan kabur-kabur lagi. Dan kalaupun kabur, mungkin tujuannya hanya satu. Ketemu kamu di Bandung."
Mendengar pernyataan itu, dia hanya terkekeh sambil mengangguk pasrah.
Hal berikutnya yang saya ingat, segalanya berlangsung begitu cepat. Suara pengumuman dari salah satu maskapai penerbangan kembali bergaung di udara. Panggilan itu juga yang membuat dirinya mau tak mau harus menyudahi pertemuan kami.
Saya melirik arloji di tangan kanan, nyaris pukul setengah satu siang. Jadwal pesawatnya mengalami keterlambatan. Dan tanpa terasa pula, percakapan ini sudah berlangsung kurang lebih satu jam. Where does the time go?
Sekali lagi dia menjabat tangan saya, berpamitan sambil mengucapkan sebaris kalimat yang terdengar samar. Saya hanya hening, menyaksikan langkahnya yang semakin menjauh, dan perlahan-lahan menghilang di balik konter pemeriksaan keamanan.
Bagi sebagian orang, sebuah perpisahan mungkin selalu menyakitkan. Kau harus mulai terbiasa dengan ketidakhadiran orang tersebut, jarak yang membentang panjang, juga rasa takut akan kehilangan. Akan tetapi, pada hari itu saya harus sepakat tentang kalimat 'there is always good in goodbye', because you know what — I found it out afterward.
Saya percaya bahwa perpisahan kami bukan akhir dari segalanya. Sebab, saya pulang dengan sepucuk harapan. Di sanalah akan saya sertai dengan doa dan usaha, tanpa kenal lelah. Dan di antara segenap perjuangan tersebut, saya yakin semesta akan membawa saya kembali kepada dirinya. Kelak, pada momentum yang jauh lebih berharga.
- Recent Entries -