Passion: We Could Marry the Rain
Joy Agustian
April 26th 2019
saya pernah bermimpi bahwa musim hujan adalah waktu terbaik untuk kita berdua.
kita berteduh di salah satu mini-market di pinggiran kota.
terlalu takut untuk melanjutkan perjalanan lantaran hujan tak kunjung usai.
motormu basah, tubuh kita pun basah — dari ujung kepala sampai ujung kaki.
kamu akan terus-menerus bertanya apakah seisi tas saya; laptop, buku, ponsel, dan seisinya terkena air hujan? dan saya akan buru-buru masuk ke mini-market itu untuk meminta beberapa kantong plastik. membungkus benda-benda yang perlu diselamatkan.
kemudian, saya akan melangkah ke jalanan, mendongak ke langit seakan-akan siap menerima guyuran hujan lebih deras, lebih banyak lagi.
dan di bawah langit gelap itu, mungkin saya akan tertawa, sambil bersenandung kecil.
senyum saya terkembang saat melihatmu senantiasa berdiri di bawah kanopi mini-market itu.
saya sudah tak peduli lagi.
tubuh sudah telanjur basah dari atas sampai bawah.
saya sudah tak peduli lagi.
biarkan saja orang-orang membicarakan saya.
melihat keriangan saya yang tiada dua, kamu pun akan menyusul dengan langkah tenangmu.
mendekati saya, melebur dengan hujan.
entah seperti apa reaksimu, tetapi saya yakin satu hal:
kamu akan menyeringai, tanpa membuat manuver agresif seperti yang saya lakukan.
saat hujan semakin deras, kita berdua akan bergegas melompat ke atas motor.
menuju tempat tinggal saya yang mungkin bisa ditempuh dalam waktu belasan menit.
di sepanjang perjalanan, kita akan terus bercengkerama, bernyanyi keras-keras tanpa perlu mengacuhkan komentar pengguna jalan di sekitar.
tak lupa, kita akan menertawakan tingkah-polah kita yang kekanakan tadi, seakan-akan itu adalah lelucon satire yang yang pernah ada di muka bumi.
setibanya di tempat tinggal saya, kita buru-buru masuk ke kamar, tetapi tak lekas membilas tubuh kita yang basah oleh hujan.
di sana kita akan saling mencopoti pakaian satu sama lain, menjamah tubuh di sana sini dengan penuh dendam kesumat, dan bibir kita akan berpagutan.
lama.
waktu bukan lagi menjadi hal yang perlu ditakuti.
selanjutnya, kita akan melangkah ke dalam kamar mandi.
atau lebih tepatnya, berjalan tanpa langkah teratur.
sebab kita terlalu malas melihat ke sekitar, bibir kita pun seakan tak ingin lepas.
jika sebelumnya kita begitu bahagia dengan curah hujan yang teramat masif, maka di dalam kamar mandi itu kita akan membuat hujan versi kita sendiri.
tak perlu membaginya kepada siapa pun.
basahi saya.
hingga mabuk dan menyatu dalam ilusi.
cumbuanmu tak ayalnya antidot untuk letih dan sedih.
basahi kamu.
dengan kekurangan saya yang selalu engkau terima.
dalam rengkuhanmu, surga terasa begitu nyata.
kamu akan membagi tawa dalam hening.
tanpa kata atau sebaris kalimat.
satu-satunya bahasa yang tak seorang pun akan mengerti.
selain diri saya sendiri.
hujan yang kita rangkai telah usai.
sudah saatnya saya menyajikan secangkir kopi, dan teh manis untuk diri saya sendiri.
punggungmu yang hangat, tempat saya merebahkan kepala sambil menyaksikan hujan yang beririsan di luar sana.
bersama kamu, duduk di tepi jendela.
kamu akan bertanya, waktu seperti apakah yang terbaik untuk kita berdua?
dan saya akan menjawab tanpa berpikir dua kali, musim hujan.
- Recent Entries -