reflection of memories : tentang perjalanan setengah tahun di 2019
Joy Agustian
June 26th 2019
tahun 2019 bisa dibilang sebagai tahun paling emosional untuk saya pribadi.
di awal tahun saya harus terbiasa dengan momen kehilangan Papa — satu peristiwa yang tidak pernah saya prediksikan dapat terjadi begitu cepat. tak hanya sampai di situ, berakhirnya kontrak kerja di kantor pun berhasil mengubah hidup saya 180 derajat. rasanya seperti jungkir balik, seakan-akan saya menjalani skenario milik orang lain. kemudian di saat yang sama, seseorang masuk ke kehidupan saya dan membuat saya tak lagi merasa kesepian. saya begitu yakin bahwa dialah yang terakhir, yang dapat menjadi teman hidup saya secara permanen. suatu ironi untuk hening yang sempat melebur ke dalam diri saya.
tebersit di pikiran saya bahwa awal dari tahun 2019 bukanlah bulan Januari, melainkan di bulan selanjutnya. semangat saya kembali terkumpul, dukungan dari keluarga, kekasih dan orang2 terdekat begitu kentara. sehingga tak ada keraguan bagi saya untuk menaruh keyakinan yang cukup besar di bulan Februari.
Maret dan April tak ayalnya seperti masa transisi. hubungan saya dengan kekasih mulai goyah. komunikasi mulai merenggang terkait alasan jarak. ketidakyakinan pada diri sendiri untuk mengawali hidup yang baru pun menjadi salah satu penyebab keretakan hubungan kami. saya kembali tersesat, tak lagi punya petunjuk layaknya anak kecil yang sebatang kara di tengah hutan rimba. lalu, pertolongan itu datang. dari Tuhan, saya mulai menyadari bahwa Mama selalu ada di sana. beliau tak pernah pergi ke mana-mana. dan ketika semua yang saya punya telah memasuki masa kedaluarsa, cintanya kepada saya selalu ada, layaknya lampu yang menuntun saya menuju jalan pulang.
pada bulan Mei, saya mencoba mengobati diri sendiri. saya berusaha sekeras mungkin agar masa lalu tak menggerogoti kekuatan yang telah saya bangun, meskipun kenyataannya tak semudah itu. saya masih sering menoleh ke belakang, sekadar memeriksa apakah segalanya masih terasa sama. dan saat saya yakin tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, maka saya mulai mempersiapkan langkah untuk menjadi sosok yang baru.
akan tetapi, hantu di masa lalu selalu punya cara untuk muncul ke permukaan dan menyeret siapa pun ke lembah kegagalan.
dan di sinilah saya berada di saat ini.
bulan Juni yang membuat kaki saya seolah-olah tertancap hingga ke permukaan tanah. saya dipaksa untuk bertahan, mengintip ke masa lalu — tahun-tahun di mana semuanya belum serumit ini, belum seburuk ini, belum sesakit ini. saya tak henti-hentinya membandingkan utopia yang hadir di tahun kemarin dengan aneka beban di tahun ini. konflik batin perlahan muncul.
saya menyalahkan keadaan, saya sulit menghargai kegagalan, saya tak sanggup menerima kenyataan, dan yang paling buruk — saya belum mampu berdamai dengan diri sendiri.
sejumlah pengandaian yang menciptakan penyesalan selalu menjadi alasan:
seandainya saya tak mengenal dia
seandainya saya tak sebodoh dulu
seandainya saya menghindar saja saat dia hadir kembali
seandainya saya bisa lebih mencintai diri sendiri
seandainya fokus saya kala itu hanya pada orang tua
seandainya saya membangun benteng yang lebih kokoh
seandainya saya lebih memilih bersembunyi alih-alih menampakkan diri
seandainya saya tak membiarkan diri saya jatuh terlalu jauh
mungkin segalanya tak akan berakhir seburuk ini.
- Recent Entries -