Joy Agustian

Rusuh

Joy Agustian

April 14th 2019

Sudah genap seminggu sejak kami terlibat dalam perdebatan panjang pada malam hari itu. Malam di mana ketakutan saya semakin memuncak, dan malam di mana kemarahannya telah melampaui batas. Padahal jika dilihat lagi ke belakang, komunikasi kami terbilang lancar dan masih dalam tahap wajar. Bahkan bisa dibilang hubungan kami berlangsung baik-baik saja.

Saya masih ingat, beberapa jam sebelum pertikaian itu dimulai, kami masih sempat membahas film di Netflix yang belum sempat kami saksikan bersama, membicarakan kondisi Mama yang pada hari itu sedang tidak enak badan, serta bertukar pendapat mengenai masalah personal yang saya alami dalam beberapa pekan terakhir.

Barangkali di sanalah segalanya berawal.

Saya terlalu banyak membaginya kisah pribadi saya, terlalu sering memintanya untuk mendengar sekaligus meminta solusi, terlalu jauh menariknya ke dalam lubang masalah yang saya buat sehingga dia kesulitan untuk kembali ke permukaan. Sementara di sisi lain, dia pun terlalu jenuh dengan cerita yang isinya begitu-begitu saja, yang tak jauh dari kubangan kesedihan dan hidup saya yang teramat merana.

Tak banyak yang saya minta pada dirinya selain meluangkan waktu untuk mendengar kisah saya dengan saksama. Setidaknya mengesampingkan sederet aktivitas yang terkesan kurang penting—seperti memeriksa notifikasi sosial media dan mengetahui apa saja yang sedang terjadi di sana.

Sejenak saja.

Saya pun tak meminta respons yang segera. Tak juga mengharapkan dia datang dengan sekantong petuah yang mungkin saja bisa membuat saya pusing kepala. Toh saya pun akan jauh lebih legowo apabila dia meminta izin terlebih dahulu sebelum menanggapi curhatan dari saya. Yang mana pada saat bersamaan, saya mendapati dirinya sedang asyik berselancar di akun Instagram.

Entah saya yang kelewat demanding, atau mungkin saya yang terlalu letih (secara harfiah), saya menganggap diri saya seakan dicurangi. Eksistensi saya di matanya seolah-olah tak lebih dari kenihilan.

Jadi, apa gunanya bercerita panjang-lebar jika pada akhirnya suaramu tak dipedulikan?

Saya pikir, sudah tak penting lagi membeberkan kisah-kisah itu di sana. Oleh sebab itulah saya lekas-lekas menghapus pesan yang telah terkirim kepadanya; semata-mata agar semuanya terlupakan, tak perlu terbaca lagi di kemudian hari. Akan tetapi, tak selamanya tindakan saya jauh dari kesalahan. Tak sedikit pun saya terpikir bahwa hal tersebut justru menjadi pemicu kekacauan di antara kami.

Dia mendesak saya untuk bicara, terus memaksa sehingga saya tak punya pilihan untuk berterus-terang. Padahal, bisa saja saya mengarang cerita dan berpura-pura bahwa apa yang saya utarakan di sana tak pantas untuk dibaca di kemudian hari. Dengan demikian, dia tak perlu merasa khawatir terhadap masalah yang sedang saya hadapi, dan hubungan kami pun akan baik-baik saja pada akhirnya.

Faktanya, penyesalan itu selalu datang terlambat bukan?

Saya sempat berasumsi bahwa dengan berkata jujur, tak akan ada hal buruk yang terjadi di antara kami. Toh kami sudah pernah menghadapi yang lebih buruk daripada ini. Terlebih masalah yang kami hadapi kala itu merupakan salah satu yang sepele. Seratus persen saya percaya bahwa dia tak sungkan-sungkan memberi penjelasan sehingga saya sepenuhnya memaklumi.

Ternyata saya salah.

Yang saya terima selanjutnya adalah kemarahan yang tak terbendung. Segala macam kekesalannya tumpah-ruah pada ruang obrolan WhatsApp yang sampai saat ini masih sering saya baca di waktu senggang. Dan saya nyaris tak memiliki kendali untuk menghentikannya kala itu. Sekadar menarik diri dari pertikaian barang sesaat, atau paling tidak diam saja, ketimbang harus melawan emosinya yang meledak-meledak.

It should have been easy for me to keep my mouth shut, right, De?

Namun, saya tak mampu menahan diri saya untuk terus menangkis serangannya. Seolah-olah saya memiliki tanggung jawab untuk meyakinkannya; bahwa semua ini hanya salah paham, bahwa pendapat sayalah yang valid di sana dan dapat diterima oleh akal sehat. Kenyataannya, baik saya maupun dirinya tak benar-benar waras pada malam itu. Ego kami terlalu tinggi. Tak ada yang sanggup mengalahkan ke-aku-an kami, sehingga meminta maaf pun rasanya akan menjadi sesuatu yang paling mahal.

Meskipun pada akhirnya, sayalah yang melayangkan bendera putih. Semata-mata agar kami lekas mengabaikan peristiwa itu, di samping fakta bahwa saya tak ingin terpisah dari dirinya. Sebab, apa pun akan saya lakukan jika usaha saya pada nantinya dapat mengembalikan kami seperti semula.

***

Bercermin pada dua minggu sebelum hari ini, segalanya tampak manis dan menyenangkan. Layaknya film favorit yang tak bosan saya tonton di akhir pekan yang panjang. Saya ingat dengan jelas, itu adalah Minggu malam yang sama seperti malam ini di kota saya. Langit tak berbintang, udaranya dingin lantaran turun gerimis sejak sore. Di tempatnya juga begitu, seingat saya. Kami membahas sederet nama kartun favorit kami di masa kecil; Fairy Odd Parents, Blues Clues, Cat and Dog, Chalkzone, Hey Arnold, dan masih banyak lagi.

Apa kamu masih ingat apa saja yang kita bicarakan Minggu malam itu, De?

Well, I do.

Malam itu kita menertawakan patung mannequin aneh di Pejaten Village. Kita juga berjanji akan mengunjungi lagi salah satu mini-resto sushi termurah di sana. Kita pernah berfoto sembari menunggu pesanan kita tiba di meja. Dan senyummu semringah. Mungkin foto-foto pada hari itu sudah tak tersisa lagi di ponselmu. Namun sampai sekarang saya masih menjaganya. Bagaimanapun saya tak ingin kehilangan mereka semua, karena hanya itu yang saya punya.

Usai percakapan itu, kita saling mengucapkan selamat tidur kepada satu sama lain.

Lucu ketika saya masih berpikir bahwa saat ini kamu sengaja tak menghubungi saya. Beranggapan kalau internetmu sedang non-aktif, atau kamu terlelap lebih awal sehingga lupa memberi kabar lewat WhatsApp. Di keesokan harinya, barulah saya akan menerima pesanmu yang bertuliskan ‘selamat pagi’ dan aneka semangat yang biasanya kamu lampirkan dengan emoji peluk. Salah satu emoji andalanmu.

Ada kalanya saya berpikir bahwa kamu pun merasa kesepian seperti yang saya rasakan, De. Hampir sepanjang malam. Diam-diam merasa terusik karena sebagian dari dirimu tergerak untuk menghubungi saya—siapa yang tahu? Kemudian kamu akan mengisi waktu kosongmu itu dengan menyaksikan salah satu series di Netflix hingga larut malam.

Barangkali dugaan saya salah. Barangkali saya yang terlalu berharap. Dan barangkali, selama ini kami tidak terlalu cerdas dalam membedakan perasaan cinta dan benci.