Joy Agustian

Sebuah Coretan Untuk Sekadar Mengenang Masa Lalu

Joy Agustian

April 3rd 2018

Saya ingat beberapa hal, hari di mana saya begitu dekat dengan seseorang yang saya anggap cinta. Seseorang, di mana hati saya terjaga utuh dalam genggamannya. Dan saya masih ingat dengan jelas, satu di antara sekian banyak agenda yang pernah kami kerjakan bersama.

Itu adalah sore yang hangat di akhir bulan Januari. Saya masih ingat ketika kami duduk di lapangan Gasibu sambil membahas naskah yang baru saja saya serahkan kepada editor. Lalu kami tertawa puas dalam percakapan konyol dan sedikit gila. Pada saat yang sama, saya juga berkomentar mengenai suara saya yang kelewat nyaring ketika berkelakar.

Dan saya harus membuat satu pengakuan, momen-momen seperti itu jarang sekali terjadi dalam kehidupan saya. Momen di mana saya kenyamanan itu mengendap sampai ke lapisan terdalam kulit saya sendiri.

Saya pun ingat, siang itu saya dan dia pernah bertindak impulsif di seberang mesjid Ujung Berung. Belum genap sepuluh menit kami keluar dari stan buku penerbit Mizan, saya langsung mencetuskan ide untuk jalan-jalan. Dia bertanya, ke mana. Dan saya tak memiliki jawabannya. Yang saya tahu, saya hanya ingin bersamanya lebih lama; berjalan ke mana saja, tersesat pun tak apa, selagi saya masih berada di dekatnya.

Maka, kami bergegas melompat masuk ke dalam bus Damri jurusan Cibiru-Kalapa, tepat ketika saya dipergoki oleh seorang rekan kerja yang melintas di jalan itu. Di satu sisi saya dihantui rasa cemas; saya takut lantaran saya telah melampirkan alasan palsu untuk izin cuti pada hari itu. Di sisi lain, saya tidak peduli. Memangnya mereka siapa? Lagi pula, apalah artinya bolos sehari untuk menyenangkan diri sendiri?

Bus Damri itu terasa sesak seperti biasa. Ini bukan hal yang baru untuk kami. Baik saya maupun dia sudah sangat sering mengalami fenomena itu sebelumnya. Namun, kami tak peduli. Kami tetap di sana, duduk di barisan yang berbeda. Saya duduk di sebelah perempuan berkerudung, dan penumpang di sebelahnya adalah pria yang bertingkah menjengkelkan. Sesekali saya terkikik menyaksikan penumpang itu tertidur pulas dengan mulut menganga. Lalu dia menoleh ke belakang, memberi isyarat agar saya berada di posisinya.

Satu hal yang selalu saya ingat: potret wajahnya kala itu.

Mungkin dia tak akan pernah tahu bahwa saya menyukai tawa yang ia punya. Tawa yang malu-malu, yang kerap memperlihatkan satu gigi depannya yang sedikit miring.

Damri yang kami tumpangi mulai terasa sepi ketika memasuki jalan Kebon Kalapa. Langit kota Bandung tampak begitu terik pada siang itu. Saya bersikeras memulai perjalanan, sementara dia menyarankan untuk berhenti sejenak. Namun, saya terlalu keras kepala. Saya tetap memilih berjalan, tanpa tahu sepasang kaki saya telah membimbing kami ke tempat yang sama sekali asing. Kami melewati Warung Mamah Eha, kedai ini dan kedai itu, gerobak es goyobod, SMA 1 Pasundan, sampai akhirnya kami berhasil menemukan Plaza Parahyangan.

Terus mengayuh kaki masing-masing menuju mesjid Alun-Alun.

Di bawah tenda warung yang berjejer itu, saya dan dirinya berteduh sejenak. Menikmati seporsi makanan murah yang rasanya tak lebih sedap dibandingkan masakan Bunda. Namun, saya harus mengakui hal ini.

Saya sempat meliriknya diam-diam ketika dia menikmati suapan dari semangkuk mie ayam itu. Ditemani celotehan saya yang tak berkesudahan, dan sorot matanya yang membuat jantung saya seakan ingin melompat keluar. Dia selalu menyimak ketika saya menyampaikan sesuatu, menanggapi ketika saya butuh saran, tertawa ketika saya menceritakan sesuatu yang lucu.

Selalu saja ada hal-hal kecil yang bisa membuat hidup kita lebih bermakna.

Sore harinya, kami berada di dalam yang Damri yang sama lagi. Kali ini dengan rute yang berbeda. Saya duduk di sebelahnya, persis di dekat jendela. Saya lebih suka begitu. Dan kami berdua tahu, bus itu sudah dipadati oleh para penumpang yang terpaksa duduk berdesak-desakan.

Saya benci duduk di barisan paling belakang. Rasanya tidak nyaman. Guncangan yang disebabkan ban mobil bagian belakang terasa begitu kentara. Tapi untuk yang pertama kalinya, saya merasa sangat nyaman dengan keadaan itu. Rasa nyaman itu datang dari dirinya. Jarak kami hanya satu senti, saling bertempelan meskipun dilapisi oleh sehelai pakaian. Dan saya sanggup mencium aroma yang berasal dari tubuhmu. Seperti wangi cokelat leleh, begitu pekat, tapi tidak menyengat.

Sekali, wangi itu pernah menjadi favorit saya. Mungkin sampai hari ini pun tetap demikian.

Saya sengaja mengunggah tulisan ini. Menyadurnya dari buku diary dengan harapan tulisan ini selalu abadi. Sebab, saya tak akan pernah tahu kapan kertas-kertas di dalam buku tersebut akan habis dimakan kutu dan rayap. Selain itu, saya juga berharap dia membacanya, atau sekadar tahu.

Bahwa saya.....

Bahwa saya..... masih ingin berjalan kaki dengannya lagi. Suatu hari nanti.