the memories of an empty house
Joy Agustian
April 15th 2023
di depan bangunan bercat biru itu, ia tepekur seorang diri. nyali dan senyum telah disiapkan sejak beberapa jam yang lalu. dia baru saja tiba dari perjalanan yang cukup jauh, menembus rintik hujan dan ribuan potongan adegan di sepanjang jalan. tak dimungkiri bahwa perasaannya campur aduk. seonggok ember cat yang terabaikan di beranda rumah, kantong plastik merah berisi sampah tak terjamah; kekosongan adalah satu-satunya tanda yang jelas di hadapan matanya.
dia maju beberapa langkah dan menyambangi teras rumah. tak ada pencahayaan sama sekali. di atas jendela, tiada lagi mesin AC yang biasanya menempel dan berdengung di saat-saat seperti itu. bahkan tampak jelas tanda-tanda seseorang telah melepasnya dari atas sana.
kekhawatirannya semakin membuncah. pintu cokelat itu seolah memanggil namanya. tak beberapa lama, dia mendaratkan beberapa ketukan beserta panggilan—sekadar memastikan bahwa akan ada orang yang menjawabnya.
ketukan pertama, tidak ada yang menjawab.
ketukan kedua, yang terdengar hanyalah bunyi yang bergema dari dalam sana.
pada saat itu dia tahu bahwa itu bukanlah sesuatu yang dia harapkan. rumah yang berisi takkan menghasilkan gema yang senyaring itu. dan selama beberapa waktu, dia tergerak untuk menyambar handle pintu untuk memastikan rumah itu terkunci atau tidak. baginya lebih baik apabila ada orang asing yang muncul dari dalam sana sehingga dia bisa menanyakan beberapa hal.
namun ketika handle pintu itu bergeser dan terbuka, keheningan adalah satu-satunya yang menjadi penghuni di dalam sana. hanya gelap dan udara lembap. sekelibat tak terlihat apa-apa, tapi ia bisa menyaksikan aneka kenangan yang melintas di seputar ruangan itu bagaikan sebuah film.
di sana pernah ada seseorang yang menyerahkan helm berwarna krem sambil berkata sesuatu.
di sana ia pernah meminta izin untuk meminjam sepasang sandal lantaran sepatunya basah dan tak nyaman untuk digunakan.
di sana ia memarkirkan motornya untuk pertama kali di suatu malam yang dingin di bulan Maret.
di sana ada seseorang yang selalu menyambut kedatangannya dengan pelukan saat ia hadir di sana setiap akhir pekan.
di sana juga terdapat dua orang yang bersitegang memaki satu sama lain, saling menyudutkan meski pada akhirnya kemarahan itu berujung tangis dan maaf.
dan di momen-momen yang penuh keheningan itu, dia merasakan pipinya memanas; tak mengira bahwa seluruh peristiwa itu hanya terjadi di masa lalu. di waktu yang sama, dia mendapati sebagian dari dirinya menolak untuk percaya. berharap bahwa setidaknya ada satu atau dua benda yang tersisa di setiap sudut ruangan, sehingga masih ada peluang bagi orang itu untuk kembali ke sini lagi.
kegelapan masih menyelimuti seisi ruangan. namun, dia tetap bergerak maju dan mengamati keadaan di sekitar dengan penglihatan sekadarnya.
lagi-lagi seluruh montase film itu terputar kembali di hadapan matanya.
tentang mereka yang pernah duduk bersebelahan di tengah ruangan itu sambil menekuri laptop yang menampilkan barisan code. itu adalah malam saat ia pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. dia menjelaskan beberapa hal yang sangat teknikal kepada orang itu. dan lawan bicaranya menyimak seluruh penjelasan itu dalam diam, sembari mengangguk dan sesekali merespons.
tentang mereka yang kerap duduk berhadapan dan menyelesaikan makanan yang mengisi piring satu sama lain. di sela-sela santap-makan itu, akan ada video dari salah satu saluran YouTube yang terputar di ponselnya. mereka biasanya akan berkomentar dan menertawakan hal-hal remeh yang tak sepatutnya ditertawakan.
kendati pun ia sanggup berdiri di sana lebih lama dan menyiksa dirinya dengqn cara yang demikian, dia masih ingin memastikan sekali lagi bahwa dugaannya benar: pasti ada harapan yang masih tersisa dan bisa dihidupkan kembali di dalam ruangan ini.
lemah ia melangkah kembali. menyusuri kamar yang sama sekali tak terkunci. kamar itu kosong dan sunyi, tirai jendela di kamar itu tersingkap sedikit—itu bukan hal yang biasa ia lihat. tak ada lagi ranjang queen size yang terbentang dan memisahkan dua sisi tembok kamar itu. tak ada lagi rak buku yang terpajang rapi di pojok kamar dan menyimpan koleksi buku Harry Potter beraneka warna.
‘aku anak Hufflepuff. kalau kamu?’ suatu kali orang itu bertanya.
‘Slytherin, tapi aku selalu pengin jadi Hufflepuff.’
dialog itu tiba-tiba terputar di kepalanya tanpa diundang. dia ingat perbincangan itu berujung pada obrolan tentang buku Harry Potter-nya yang lain. momen saat dia membalikkan halaman demi halaman buku yang menampilkan wujud monster di franchise Fantastic Beasts, dan di saat yang sama suara orang itu terus bergema di sekitarnya.
tangisnya nyaris jatuh sewaktu dia mengingat orang itu pernah menunjukkan salah satu pigura di atas rak bukunya dan berkata, ‘i didn’t choose you, but my heart did.’
entah apa maksudnya kala itu, tapi satu hal yang pasti—keberadaan seluruh benda itu kini tak tersisa lagi di hadapannya.
di ruang berikutnya, dia kembali tak mendapati apa-apa. biasanya dia akan mendapati setumpuk kardus yang berisi buku-buku dan lemari pakaian bergambar pemain sepak bola. dia menyalakan lampu senter dari ponselnya, melihat ke sekitar dan mendapati beragam memori yang berputar hebat di dalam sana.
dalam hati dia bertanya, ke mana perginya seluruh waktu-waktu indah itu?
dia ingin segera pergi dari tempat itu, sebab hatinya terlalu letih. berdiri seorang diri sembari mengamati kenangan-kenangan di dalam sana tak akan membawa perubahan apa-apa. lagi pula dia khawatir apabila orang lain akan mendapati dirinya menjelajahi rumah kosong itu tanpa seizin siapa pun.
namun sebelum dia melangkah keluar, dia memutuskan untuk mengunjungi dua tempat terakhir yang tersisa di rumah itu. kali ini dia tak berharap dapat menemukan apa-apa yang tertinggal di sana. lantaran dia tahu dengan jelas, semua kisah itu telah pergi. dia melakukan itu semua hanya untuk melukai dirinya sendiri.
diintipnya kamar mandi yang sunyi dan gelap itu. dia mendapati sebuah ember merah yang menampung air dengan penuh, seolah-olah seseorang akan menggunakan air tersebut dalam waktu dekat. keadaan serupa pun dia temui saat dia melenggang ke dapur. tiada lagi lemari es yang menempel di dekat dinding, atau kompor yang biasanya dia gunakan bersama orang itu untuk memasak apa pun, atau sekadar kumpulan kantong plastik yang terangkum di dalam satu wadah.
semuanya telah lenyap tak bersisa.
bagai sejumlah kenangan yang terus ia saksikan sejak tadi.
awalnya dia berpikir segalanya masih baik-baik saja. dia sempat membayangkan tiba di rumah itu untuk merayakan satu tahun kedatangannya, sekadar hadir dan meminta maaf atas apa yang pernah dia lakukan tepat setahun lalu. tak henti-hentinya dia menantikan kedatangan hari itu.
namun saat dia menyadari bahwa dugaannya di awal hanyalah delusi semata—di samping fakta bahwa keputusannya untuk datang ke tempat itu adalah sesuatu yang percuma, dia tak punya pilihan lagi selain melangkah keluar. dia menyambar handle pintu cokelat itu dan menutupnya kembali seperti semula.
dia melihat sejenak ke belakang, untuk mengenang apa-apa yang pernah terjadi di sana. betapa kehadiran orang itu telah berhasil menghadirkan warna baru dalam hidupnya. dan kebersamaan enam bulan itu merupakan kisah yang akan selalu dia kenang dan dia simpan sebagai pelajaran di waktu mendatang.
kini urusannya telah selesai. ia bersiap pergi, meskipun hatinya belum sepenuhnya terobati.
- Recent Entries -